Sabtu, 25 Mei 2013

Realisme



A.    REALISME
Pendahuluan : Elemen – elemen Realisme
Dalam pemikiran kaum realis manusia dicirikan sebagai makhluk yang cemas akan keselamatan dirinya sendiri sehingga ingin menjadi yang terkuat dan berada dalam kursi pengendali.
Thucydides, Machiavelli, Hobbes yakin bahwa tujuan kekuasaa, alat-alat kekuasaan dan penggunaan kekuasaan merupakan perhatian utama aktivitas politik. Dengan demikian, politik internasional digambarkan sebagai “politik internasional” : suatu arena persaingan, konflik, dan perang antara Negara-negara dimana masalah-masalah dasar yang sama dalam mempertahankan kepentingan nasional dan menjaga kelangsungan hidup Negara.
Kaum realis memahami hubungan internasional sebagai perjuangan diantara Negara-negara berkekuatan besar untuk dominasi dan keamanaan.
Dasar normatif realisme adalah keamanaan nasional dan kelangsungan hidup Negara. Negara menjamin alat-alat dan kondisi keamaan dan yang memajukan kesejahteraan. Negara dipandang sebagai pelindung wilayahnya, penduduknya dan cara hidupnya yang khas dan berharga. Negara harus mampu mengorbankan kewajiban internasional. Hal ini menjadikan perjanjian dan semua persetujuan, konvensi, kebiasaan, aturan, hukum lainnya antara Negara-negara hanyalah berupa pengaturan bijaksana yang akan dikesampingan jika bersebrangan dengan kepentingan vital Negara.
Realisme Klasik

Kamis, 23 Mei 2013

Konflik antar Kelas


NB : maaf nggak dikasih footer,..hehe

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Perbedaan kepentingan selalu ada dalam kelompok sosial. Mulai dari kepentingan kelas atas, kelas menengah dan juga kelas bawah. Perbedaan tersebut kerap kali menjadi penyebab timbulnya konflik hingga dapat merugikan sesama masyrakat yang memiliki kepentingan yang berbeda. Pemerintah, pengusaha dan berbagai kelompok yang memiliki kekuasaan terjadi pertentangan kepentingan dengan rakyat kecil(kelas bawah). Berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu dan para penguasa yang cenderung merugikan rakyat kelas bawah. Sikap-sikap otoriter pemerintah dan suara rakyat yamg kerap kali diabaikan sering terjadi di negri ini.

Kamis, 16 Mei 2013

Imigran Turki di Jerman


A.    Sejarah Kedatangan Turki di Jerman
  
Jerman  mengakui kekalahannya pada April 1945 atas Perang Dunia II. Pengakuan tersebut dapat dikatakan sebagai hal yang sangat memalukan karena pencetus Perang Dunia II adalah Jerman sendiri. Jerman tidak mau terlalu terpuruk dalam situasi tersebut. Dan Jerman berusaha untuk membangun kembali negaranya yang sempat runtuh. Dalam upaya pembangunan tersebut tidak selalu berjalan dengan lancar. Banyak hal menjadi kendala dalam upaya pembangunan tersebut seperti kurangnya Sumber Daya Manusia akibat banyaknya pria yang tewas di medan perang. Dalam waktu yang sangat cepat, perekonomian Jerman berkembang dan banyak pengusaha yang mendirikan usaha di tanah Jerman. Dalam konteks yang sama mereka membutuhkan pekerja kasar untuk proses industrialisasi.
Oleh sebab itu Jerman mendatangkan pekerja asing dari beberapa Negara. Berawal dari penandatangan Turki pada perjanjian bilateral dengan Jerman (dan beberapa Negara lain di Eropa) pada tahun 1963. Perjanjian tersebut melahirkan program yang disebut guestworker atau “pekerja tamu”. Mengapa disebut sebagai pekerja tamu? Karena menggunaka sistem kontrak dan suatu saat Jerman akan memulangkan mereka ke negeri asal jika kontrak telah habis.
 Pemerintah Jerman meminta pekerja asing untuk membantu proses jalannya industri karena kekurangan stok buruh dengan upah murah. Meskipun para pekerja hanya memiliki kualitas skill yang masih rendah atau bias disebut sebagai tenaga kerja kurang terampil. Sehingga pemerintah Jerman memberlakukan sistem kerja temporal yang memiliki batas waktu kerja tertentu. Ketika kontrak kerja telah habis maka akan diberlakukan rotasi kerja dengan pekerja asing dari Negara yang berbeda. Namun upaya pemerintah tersebut dinilai kurang efisien. Karena perekrutan tersebut akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit di saat ekonomi Jerman yang sedang berkembang. Para pengusaha juga enggan memberi pelatihan lagi pada para pekerja baru.  
Banyak pekerja yang kembali ke negeri asal pasca kontrak habis namun tidak sedikit pula yang memilih untuk tetap tinggal di Jerman karena ada factor pendukung keinginan mereka seperti mudahnya perizinan bagi imigran yang ingin tetap tinggal. Banyak sekali orang asing yang memilih untuk menetap di Jerman. Karena Jerman memiliki perkembangan ekonomi yang sangat pesat saat itu. Keinginannya yang sangat kuat untuk membangun kembali negaranya merupakan penyebab datangnya imigran-imigran dari berbagai Negara yang mayoritas berstatus warga Negara Turki.

B.     Perkembangan Imigran Turki di Jerman
Pada tahun 1966-1967, Jerman mengalami krisis ekonomi sehingga
pemerintah Jerman menghentikan perekrutan pekerja migran.[1] Krisis tersebut mendorong banyak pekrja Turki memilih untuk kembali ke Negara nya, namun tak sedikit pula yang tetap bertahan di Jerman selama krisis ekonomi tersebut berlangsung.
Namun, pada tahun 1968 – 2000 total penduduk Turki mengalami pertumbuhan yang sangat pesat hingga mencapai 3juta orang dengan catatan tidak semua menjadi pekerja. Arus migrasi ini di dominasi oleh keluarga dari guestworker. Banyaknya keluarga dari guestworker menjadi imigran salah satunya di dorong oleh instabilitas ekonomi dan politik dalam negeri Turki. Bahkan undang-undang kewarganegaraan tahun 2000 menjamin kewarganegaraan anak-anak pendatang yang bermukim secara legal di negeri itu sedikitnya delapan tahun.[2] Jadi mereka memiliki hak untuk mengajukan naturalisasi jika mereka memenuhi beberapa syarat tertentu. Reformasi tersebut merupakan kabar baik bagi para imigran. Karena undang-undang yang lama menganut sistem ius sanguinis yang berarati mengakui kewarganegaraan seseorang dari kewarganegaraan orang tua kandungnya.[3] Dan secara otomatis tidak mendapatkan kewarganegaraan meskipun mereka telah tinggal bertahun-tahun di Jerman.
Setiap tahunnya jumlah pendatang di Jerman semakin bertambah mengingat bahwa Jerman termasuk Negara berdaya ekonomi paling kuat di dunia.[4] Semakin banyaknya imigran yang datang ke Jerman belum bisa dikatakan memiliki kesempatan yang sama dengan penduduk asli Jerman, demikian ujar Maria Bohmer, perwakilan pemerintah Jerman urusan integrasi penduduk.[5] Menurut laporan tersebut anak muda berlatar belakang keluarga asing mengalami putus sekolah lebih banyak dari pada keluarga yang berlatar belakang Jerman. Dan jika pengetahuan anak yang memiliki usia sama diantara keluarga tersebut maka pengetahuan keluarga asing lebih rendah dari pada pemuda pribumi.
Imigran dengan kualitas rendah akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Dengan kualitas pengetahuan yang rendah sehingga mereka dianggap pengangguran yang tidak memiliki kualitas kerja. Ironisnya, rata-rata pemuda imigran yang putus sekolah dan tidak memiliki ijazah semakin mempersulit mereka untuk terjun ke dalam dunia kerja. Jadi, dari jumlah 3 juta penduduk Turki yang ada di Jerman tidak semuanya memiliki pekerjaan, hanya 732.000 yang menjadi pekerja.

C.    Dampak Imigran Turki di Jerman
Migrasi internasional dapat diartikan sebagai perpindahan penduduk antar Negara. Jika seseorang berpindah ke Negara lain, maka dia dianggap sebagai emigran bagi Negara asalnya tapi sebaliknya orang tersebut dianggap sebagai imigran bagi Negara tujuannya. Proses imigrasi tersebut memiliki beberapa pengaruh atau keuntungan yaitu meningkatkan pemasukan bagi Negara tujuan melalui konsumsi, pembayaran atas pemakaian fasilitas umum, dan pembayaran pajak di Negara tujuan.
Namun disisi lain adanya imigran ini sering kali menimbulkan masalah. Bertambahnya pengangguran di sudut kota. Akibat dari kondisi sosial imigran yang cenderung miskin dan kurang berpendidikan, diskriminasi sering kali menghampiri mereka. Ditambah kurang terbukanya orang Turki terhadap komunitas diluar mereka. Hal it menyebabkan kurangnya kemampuan berbahasa Jerman. Maka tidak aneh jika sering kali komunitas Turki menjadi sasaran perlakuan rasis.